Ini adalah kisah ketakutan seorang pemuda untuk
memsukkan barang haram kedalam perutnya dan berakhir dengan kisah cinta yang
abadi.
Suatu hari seorang lelaki muda hendak berangkat
menuntut Ilmu, berjalan menyusuri pinggiran sungai. Tanpa sengaja pemuda
tersebut menemukan buah delima yang hanyut. Warna merah delima itu menggoda
kerongkongan pemuda yang bernama Idris As Syafi’i. Tanpa menunggu lama, dengan
sebilah tongkat kayu sambil menginjak tepian sungai, ia mencoba meraih delima
ranum tersebut. Tanpa pikir panjang ia langsung meraup delima demi mengganjal
perutnya yang keroncongan.
Gigitan demi gigitan delima itu dilahap nikmat.
Setengah delima telah masuk ke dalam penggilingan usus, barulah ia bertanya
dengan dirinya, “Siapakah pemilik delima ini?” Aku yakin buah ini pasti ada
pemiliknya, yang kepadanya aku belum meminta ijin untuk memakannya.” Demikian
pertanyaan itu menghentikan gigitan yang masih menempel di mulut. “Berarti pula
makanan yang masuk kedalam perutku ini tidaklah halal bagiku. Oh Tuhan….Maafkan
aku.” Itulah penyesalan yang muncul di dalam hati pemuda Idris.”
Lama dia termenung, teringat ajaran sang guru, bahwa
makanan haram yang masuk kedalam badan dan pakaian yang haram yang menutup
badan dapat menjadi suatu sebab terhambatnya doa. “Oh Tuhan, ampunilah aku.
Bagaimana caraku untuk membersihkan kesalahanku?” Itulah penyesalan yang tiada
terbilang memenuhi relung hati sang pemuda beriman, Idris.
Setelah merenung bingung beberapa berselang, akhirnya
diperoleh cara untuk menyelesaikannya, “Aku harus mencari pemilik delima, untuk
meminta keikhlasan atasnya.” Akhirnya,pemuda IDris menyusuri tepian sungai,
berusaha mencari pemilik delima tadi. Delima yang tinggal setengah masih pula
di gengang sebagai bukti nanti kalau-kalau sang pemilik meminta kembali.
Cukup panajang ia menyuri sungai itu akhirnya bertemu
dengan sebuah perkebunan yang ditumbuhi pohon delima. Memanglah bahwa lokasi
kebun itupun menjorok ke sungai. “Dari pohon inilah barangkali delima yang
hanyut yang kumakan tadi.” Idris terus mengamati pohon delima yang menempel di
dahan-dahan sambil mencocokannya dengan buah delima yang ia makan. Ternyata
sama persis.
Setelah ia yakin benar, lantas Idris bertanya untuk
mencari pemilik kebun. Bertemulah ia kepada sang pemilik kebun.
Tanpa gusar ia terus berkata kepada orang asing itu,
“Maaf pak, saya kesini untuk meminta keikhlasan bapak atas kekhilafan yang
telah saya lakukan.” kata Idris membuka pembicaraan.
Lelaki paruh baya yang sudah ditumbuhi uban itu
mengerutkan wajah dengan penuh heran. Pemuda asing yang datang ini langsung
mengajukan permintaan yang sangat ameh baginya. Permintaan maaf yang diapun tak
mengerti arah pembicaraan Idris.
“Apa gerangan yang membuat anda meminta maaf dan
keikhlasan, padahal kita baru saja berjumpa? Saya sangat yakin tak ada
kekeliruan diantara kita berdua.” jawab lelaki setengah baya.
“Begini pak. Dijelaskanlah semua permasalahan yang
telah menimpa dirinya dari awal hingga pertemuan mereka. Mendengar penjelasan
tersebut, lelaki paruh baya terkejut, “subhanallah”. Bibirnya sontak berujar
memuji Allah.
Beberapa saat laki-laki separuh baya itu terdiam
terhipnotis oleh akhlaq laki-laki asing yang berada di depannya. “Baru kali ini
aku melihat seorang laki-laki yang begitu bersemangat menjaga dan mencegah diri
dari dosa, padahal bisa saja ia melupakan perkara itu begitu saja. Tapi
laki-laki muda ini sangat aneh, dan jarang kutemui.” Pak Tua membatin
Lain halnya dengan pemuda itu, Idris justru dilanda
kekhawatiran tiada terkira, jangan-jangan Pak Tua tak mau memaafkannya,
“Bagaimana, pak, bisakah aku dimaafkan, dan delima yang aku makan diikhlaskan?”
Pak tua lantas memberi jawaban dengan wajah yang dibuat-buat
agar menimbulkan keangkeran, “Aku mau menerima maafmu, asal kamu mau menerima
persyaratanku.”
“Oh saya mau Pak, apapun persyaratan yang bapak ajukan,
aku mau melakukan, asal bapak mau mengikhlaskan, ” sambut Idris berseri-seri,
karena melihat peluang untuk dapat diampuni.
“Begini Nak, “kata Pak Tua mulai menjelaskan serius,
“Aku punya seorang anak perempuan tunggal yang tuli, bisu, buta dan lumpuh.”
“Lantas?” tanya si Idris penasaran.
“Aku menghendakimu menjandi menantuku, mengawini
putriku. Itulah satu-satunya syarat yang kuajukan agar delima yang telah engkau
makan dapat aku ihklaskan, “jelas Pak Tua sejelas-jelasnya.
Innalillah,” desis hati si Idris ketika mendengar
penjelasan, “Bagaimana mungkin hanya untuk mendapatkan keikhlasan sebuah delima
harus aku tebus dengan mengawini wanita cacat segalanya. Apakah cara ini cukup
adil?” Kelihatan sekali kening pemuda Idris berkerut, mempertimbangakan dan
memikirkan keputusan yang sangat berat.
Pak Tua memperlihatikan pemuda Idris dengan seksama lantas
bertanya malah terkesan setengah memaksa, “Bagaimana Nak?” Memang itulah
persyaratanku saja.”
Pemuda Idris terdiam, tampak memikirkan dengan begitu
mendalam. Sejenak kemudian ia mengangkat wajah, mendesah berat, lantas
memberikan jawaban, “Kalau memang hanya cara itu yang bisa membuat Bapak
memaafkan kesalahanku maka aku harus menyanggupinya wahai Pak Tua.”
Mendengar jawaban Idris, lelaki paruh baya itu
tersenyum bahagia lantas bicara, “Aku ikhlas memberi ampunan, aku harap kau
ikhlas menerima persyaratan.”
“Aku ikhlas, “tukas Idris lugas, sambil menyodorkan
sebuah jabat tangan.
“Kalau begitu, sebelum aku mengawinkanmu, kupersilakan
kau melihat calon istrimu dahulu, Kata Pak Tua, sambil mempersilakan pemuda
Idris melihat calon istrinya di ruang tengah. Pemuda Idris segera beranjak,
menuju ruang yang ditunjukkan. Dengan tangan sedikit kaku. didorongnya gagang
pintu dengan hati berdebar tak menentu karena matanya akan segera menatap calon
istri yang cacat segala rupa.
“Bagaimana bentuk wanita calonku ini, yang cacat
segalanya, buta tuli, lumpuh, bisu?” Beberapa saat pintu terbuka hampir tak
berbunyi. Di lihatnya sorang wanita jelita yang tampaknya sedanga merenda.
Hanya dia dan tak ada lagi wanita lainnya. Bingung. Pintu ditutup kembali sam
apelannya ketika ia membuka lantas menemui Ayah perempuan. “Pak, aku tak
melihat orang lain di dalam sana,kecuali hanya seorang wanita yang sedang
merenda.”
Pak Tua tersenyum lantas berujar, “Dialah calon
istrimu.”
“Oh Tuhan, bagaimana bisa begitu? Bukankah Bapak tadi
menyebut calonku seorang buta tuli, lumpuh, bisu? Sedangkan yang didalam sana
seorang wanita yang sangat jelita dengan muka ranum bak delima?” tanya pemuda
Idris setengah tak percaya. Hatinya berdebar kencang.
“Bagini anakku. Dia memang buta dalam soal melihat
kemaksiatan. Dia memang tuli dalam mendengar pembicaraan yang dapat menimbulkan
murka Allah. Dia memang bisu untuk mengucapkan makian dan lumpuh karena tidak
melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat, lokasi berkumpulnya syetan. Dia
tak pernah bersentuhan dengan segala kemaksiatan, Itulah yang kumaksud bahwa
dia buta, tuli, lumpuh, bisu. Karena itulah, tak ada pemuda yang layak menjadi
suaminya kecuali orang sepertimu, yang juga menjaga diri dari segala hal yang
berkaitan dengan dosa, haram, dan kemaksiatan.
Merekapun dinikahkan. Kebahagian meliputi perjalanan
pasangan ini mengarungi bahtera rumah tangga. Karena niatan Lillah Billah dan
Fillah, halangan demi halangan hanya Allah tempat terbaik dalam meminta dan
berlindung.
Dari pasangan suami-istri yang terjaga dari dosa dan
maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir seorang anak shaleh teladan,
yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal Al-Quran. Dialah Muhammad bin
Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam Syafi’i.
Itulah kesabaran dari ayah seorang ulama besar
sepanjang masa ini. Sang ayah begitu sabar dalam menahan dan menghindari
makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga kehormatan dan kesuciannya maka
Allah pun mengabulkan do’a nya, menganugrahkan keduanya seorang anak yang
saleh.