Sunan Gunung Jati |
Setelah 3 hari kita membahas tentang Sunan Giri maka hari ini kita akan
membahas salah satu dari anggota Wali Songo yang namanya cukup terkenal di
pulau Jawa khususnya di Jawa Barat. Jika sahabat berasal dari Jawa Timur hendak
melakukan tour religi Wali Songo, maka sahabat akan menutup perjalanan sahabat
di makan Sunan Gunung Jati yang berada di Jl. Raya Sunan Gunung Jati, Kalisapu,
Cirebon. Biar tidak berlama-lama Mari
kita simak kisah asal usul Sunan Gunung Jati.
Sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat, Sudah Ada
seorang ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh
dua orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang
lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.
Dalam sebuah cerita masyarakat, Putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran
bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang pada suatu malam
mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW yang
mengajarkan agama Islam. Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan
Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Akan tetapi
mimpi tersebut hanya terjadi tiga kali. Seperti orang kehausan, kedua anak muda
itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama
Islam.
Kebetulan pada saat itu mereka mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau
lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon.
Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh
Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad
SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi. Pangeran
Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi
berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama
di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi
untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati.
Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu
diselesaikannya hanya dalam beberapa hari saja . Daerah itu dijadikan
pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi
pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran
Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dan mendapatkan gelar Cakrabuana.
Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang. Orang yang menetap di Tegal Alang-alang
terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing yang
menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan
pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban. Maka Legal Alang-alang
disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang
kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal. Dalam bahasa Sunda Petis dari
air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai
Cirebon hingga sekarang. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana
dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji. Di Kota
Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar
bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu
bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama
menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang
mirip mendiang istrinya. Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu
melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah. Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana
tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i.
Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu
lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian
pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang
adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya
menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri
Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati. Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang
telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi
selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut
dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang
berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya,
bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh
ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi
anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya
bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu
kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu berada di
negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan
Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika
pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan
dakwah.
Source: islami-nazril